Kodam XV/Pattimura Tanggapi Sengketa Lahan Batalyon TNI di Kairatu Barat: Hormati Adat, Kedepankan Musyawarah

oleh -34 Dilihat

Ambon.malukubarunews.com Menyikapi polemik kepemilikan lahan untuk pembangunan Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan di Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB)Kodam XV/Pattimura akhirnya memberikan tanggapan resmi.

Polemik tersebut mencuat setelah Negeri Kaibobo dan Desa Waesamu saling mengklaim petuanan atas lokasi yang direncanakan sebagai markas batalyon baru. Negeri Kaibobo melalui Raja Alex Kuhuwael menyampaikan penolakan keras terhadap klaim sepihak Desa Waesamu.

Dalam pernyataan resmi yang diterima Malukubarunews.comKepala Penerangan Kodam XV/Pattimura menegaskan bahwa pihaknya mengikuti secara saksama dinamika yang berkembang di tengah masyarakat.“Kami dari Kodam XV/Pattimura menyikapi dengan penuh perhatian dan bijak terkait perbedaan pendapat mengenai status kepemilikan lahan yang direncanakan untuk pembangunan fasilitas Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan di Kecamatan Kairatu Barat,” ujar Kapendam XV/Pattimura dalam keterangan tertulis kepada media ini melalui pesan Whatshap Kamis (25/9/2025).

Kapendam menyatakan bahwa institusinya memahami makna sakral tanah adat dalam budaya masyarakat Maluku. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam setiap tahapan pembangunan akan mengedepankan dialog, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak ulayat.

“Kodam XV/Pattimura sebagai perwakilan institusi yang mengabdi kepada bangsa dan negara, senantiasa menghormati nilai-nilai adat istiadat dan hukum yang berlaku di masyarakat,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa rencana pembangunan fasilitas TNI ini merupakan bagian dari upaya memperkuat pertahanan negara di wilayah strategis dan mendukung pemerataan pembangunan, terutama di kawasan kepulauan seperti Maluku.

Namun demikian, Kodam XV/Pattimura tidak ingin pembangunan ini dilakukan dengan mengorbankan masyarakat. Sebaliknya, mereka berkomitmen untuk memastikan bahwa penyiapan lahan dilakukan melalui mekanisme yang sah dan inklusif.

“Kami berkomitmen penuh bahwa setiap proses penyiapan lahan akan dikordinasikan dengan pemerintah daerah dan tokoh adat setempat serta dilakukan melalui mekanisme yang sah, transparan, dan menghormati hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.

Dalam semangat menjaga stabilitas sosial dan keamanan wilayah, Kodam juga menyerukan pentingnya mengedepankan musyawarah sebagai solusi utama.

“Kami mengajak semua pihak untuk mengedepankan dialog konstruktif dan menyelesaikan perbedaan pendapat ini melalui jalur musyawarah yang melibatkan tokoh adat, pemerintah daerah, dan instansi terkait,” ujarnya.

Kodam menyatakan akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah SBBBadan Pertanahan Nasional (BPN), serta tokoh-tokoh adat untuk menemukan solusi terbaik yang tidak merugikan salah satu pihak, dan tetap selaras dengan visi pertahanan negara.

“Kami yakin, dengan semangat persatuan dan kesatuan yang telah menjadi kekuatan bangsa Indonesia, permasalahan ini dapat diselesaikan secara damai untuk kepentingan bersama,” tulis Kapendam.

Menutup pernyataannya, Kodam XV/Pattimura mengajak seluruh pihak untuk menjaga persaudaraan dan merawat kerukunan sebagai warisan luhur bangsa Indonesia.

“Mari kita jaga persaudaraan dan kerukunan sebagai sesama anak bangsa, karena kekuatan sejati terletak pada persatuan kita dalam menjaga tanah air tercinta.”

Pernyataan ini menandai langkah Kodam XV/Pattimura untuk tetap berada di jalur moderasi dan dialog, di tengah isu sensitif terkait hak ulayat dan pembangunan strategis militer di Maluku.


Sebelumnya diberitakan  bahwa Rencana pembangunan batalyon baru di bawah komando Kodam XV/Pattimura yang berlokasi di Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), memicu polemik serius di tengah masyarakat adat. Penolakan keras datang dari Negeri Kaibobo, yang menolak klaim Desa Waesamu atas lahan yang disebut sebagai lokasi petuanan milik mereka.

Puncak ketegangan terjadi setelah Desa Waesamu melayangkan surat keberatan kepada Pangdam XV/Pattimura, menyatakan bahwa lahan tersebut berada dalam petuanan mereka. Dalam surat bernomor 01/Adv-RJ/IX/2025, pihak desa bahkan menunjuk kuasa hukum untuk memperkuat klaimnya.

Namun, Raja Negeri Kaibobo, Alex Kuhuwael, dengan tegas membantah hal tersebut. Ia menegaskan bahwa lahan yang dimaksud merupakan hak ulayat Negeri Kaibobo, bukan milik Waesamu. Penolakan tersebut disampaikan secara terbuka di Kaibobo, Rabu (24/9/2025).

“Pemahaman ini jelas menyinggung kami di Negeri Kaibobo. Ini adalah pelecehan terhadap orang Kaibobo dan Batang Air Tala Batai. Petuanan yang diklaim itu adalah hak ulayat kami yang berbatasan langsung dengan Negeri Hatusua,” kata Raja Kaibobo, Alex Kuhuwael.

Raja Alex menyayangkan langkah Waesamu yang dinilainya terburu-buru dan tidak berdasarkan tatanan adat yang berlaku di wilayah tersebut. Ia menilai, klaim tersebut berangkat dari kekeliruan mendasar tentang struktur kekuasaan adat di wilayah Seram bagian barat.

Lebih lanjut, Alex Kuhuwael menyoroti surat kuasa hukum yang diterbitkan Desa Waesamu pada 6 Januari 2025 kepada dua kuasa hukum—Risart Ririhena, S.H. dan Jopie Stenly Nasarany, S.H. Menurutnya, tindakan tersebut melangkahi proses adat dan melemahkan posisi Negeri Kaibobo sebagai Inama Tala Batai yang bertanggung jawab menjaga wilayah adat dan perbatasan.

“Kami tidak pernah melakukan tindakan yang memicu konflik seperti ini. Untuk itu Pemda harus bertindak tegas terhadap Waesamu. Jangan bikin kami marah,” tegasnya.

Pernyataan Raja Kaibobo turut diperkuat oleh dokumen resmi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten SBB, yakni Surat Nomor 400.10/218 tertanggal 9 September 2025, yang membahas peningkatan status desa menjadi desa adat atau negeri. Dokumen ini disebut memperkuat kedudukan Negeri Kaibobo sebagai pemilik sah wilayah adat dimaksud.

Dalam keterangannya, Raja Alex juga menguraikan bahwa Desa Waesamu, Waesarisa, Kamal, dan Nuruwe selama ini hanya memiliki hak pakai, bukan hak milik tetap atas wilayah adat tersebut. Menurutnya, hal ini harus dipahami dengan benar untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat berujung konflik horizontal.

Meskipun terjadi gesekan dengan Desa Waesamu, Alex Kuhuwael memastikan bahwa hubungan pela dengan Negeri Kamal dan Nuruwe tetap kuat. Ia memisahkan konflik kepentingan ini sebagai persoalan khusus yang tidak akan mempengaruhi ikatan budaya yang telah dijaga turun-temurun.

“Desa-desa pela tetap kami hormati. Tapi dalam hal ini, kami berdiri untuk mempertahankan hak ulayat kami. Kami tidak ingin persoalan ini merusak hubungan sosial yang selama ini harmonis,” jelas Alex.

Negeri Kaibobo kini mendesak Pemerintah Kabupaten SBB untuk segera turun tangan dan menyelesaikan sengketa ini secara adat maupun hukum formal. Masyarakat Kaibobo juga menyatakan kesiapan mereka untuk menempuh jalur hukum apabila tidak ada tindak lanjut yang tegas dari pihak pemerintah.

“Kalau dibiarkan, ini bisa memicu reaksi keras dari masyarakat kami. Pemerintah jangan diam,” tandas Raja Kaibobo.(MB)