Ambon, MalukuBaruNews.com – Lebih dari 1.000 siswa di berbagai provinsi mengalami keracunan makanan yang berasal dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menanggapi hal ini, Ketua DPRD Maluku, Benhur Watubun, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah revolusioner dalam mengevaluasi dan memperbaiki implementasi program tersebut.
“Anak-anaknya dikontrol oleh dinas atau badan gizi sampai ke daerah-daerah. Kalau orang tua kasih makan, mereka tahu anaknya hidup dan mereka tidak mungkin sengaja taruracun. Tapi kalau pihak lain? Itu bisa sengaja. Makanya Presiden harus ambil langkah yang revolusioner untuk penanganan ini,” kata Benhur Watubun saat dikonfirmasi wartawan di ruang kerjanya, lantai dua, Karang Panjang Ambon, Senin, 22 September 2025.
Program MBG merupakan kebijakan strategis nasional yang diluncurkan awal Januari 2025 oleh pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) dan didukung oleh BPOM sebagai pengawas keamanan pangan. Namun sejak diluncurkan, insiden keracunan makanan telah terjadi di sejumlah daerah, mulai dari Cianjur, Tasikmalaya, Sukoharjo, Batang, hingga wilayah-wilayah di Sulawesi dan Kalimantan.
Benhur menilai bahwa distribusi makanan yang tidak higienis, pengolahan yang buruk, serta lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama rentetan kasus keracunan. Ia menegaskan bahwa dampak keracunan makanan bukan hanya soal kesehatan sesaat, tetapi mengancam kualitas generasi bangsa ke depan.
“Bayangkan kalau anak-anak makan makanan yang berfungsi sebagai racun. Programnya bagus, tapi implementasinya yang merusak. Kalau sampai orang tua takut kasih anak makan makanan bergizi karena trauma, berarti ada yang salah besar,” kata Benhur Watubun.
Ia juga menyoroti minimnya keterlibatan BPOM di lapangan, khususnya dalam pengawasan dapur penyedia makanan (SPPG), yang menjadi titik kritis. Di sisi lain, kecepatan pemerintah dalam memperluas cakupan MBG—hingga menargetkan 20 juta penerima manfaat per Agustus 2025—dinilai melampaui kapasitas kontrol kualitas yang ada.
“Ini bukan soal berapa persen yang keracunan. Satu anak saja yang keracunan, itu sudah tanggung jawab negara. Kita tidak boleh anggap ini sebagai efek samping yang ‘biasa’,” ujar Benhur dengan tegas.
Sebagai langkah korektif, Ketua DPRD Maluku mendesak agar pengawasan distribusi makanan diperkuat sampai ke tingkat desa, termasuk dengan melibatkan dinas kesehatan lokal, BPOM, dan tenaga gizi. Ia juga mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap standar operasional dan pelatihan tenaga dapur, serta transparansi dalam pelaporan kasus dan koreksi kebijakan.
“Presiden harus turun langsung atau setidaknya menginstruksikan audit nasional terhadap pelaksanaan MBG di seluruh provinsi. Kalau dibiarkan, anak-anak yang harusnya jadi generasi emas, justru akan jadi korban program yang salah urus,” katanya lagi.
BGN mencatat, hingga saat ini sebanyak 17 kasus luar biasa (KLB) keracunan makanan telah terjadi di 10 provinsi. Kepala BGN menyebut angka keracunan hanya sekitar 0,5% dari total penerima manfaat. Sementara BPOM menyebut 8 dari 17 kasus yang dilaporkan bukanlah keracunan, melainkan gangguan kesehatan ringan. Namun Benhur menilai, “statistik tidak boleh dijadikan tameng untuk mengabaikan korban.”
Dengan semakin banyaknya suara kritis dari daerah, termasuk Maluku, pemerintah pusat kini berada dalam tekanan publik untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program MBG, khususnya dalam aspek keamanan pangan, transparansi, dan efektivitas implementasi di daerah.(MB-01)