Warga Waeputih Desak Penyelesaian Tapal Batas Malteng-SBB yang Picu Ketegangan

oleh -39 Dilihat

Malteng .malukubarunees.com – Konflik tapal batas antara Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali memanas. Warga Dusun Waeputih, Desa Larike, Kecamatan Leihitu Barat, mendesak pemerintah daerah dan legislatif segera mengambil langkah konkrit untuk menyelesaikan polemik yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini.

Ketegangan mencuat setelah adanya penolakan sebagian warga terhadap kedatangan rombongan DPD Muhammadiyah SBB yang hendak melakukan peletakan batu pertama pembangunan SMP Muhammadiyah di Waeputih. Penolakan terjadi di tambatan perahu dusun tersebut, yang menjadi simbol klaim administratif oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.

“Polemik ini kalau terus dibiarkan tanpa kejelasan, kami pastikan akan terus terjadi cek-cok bagi warga Waeputih. Kami hanya ingin hidup nyaman, rukun, dan damai,” kata Tokoh Pemuda Waeputih, Mon Umagap, saat ditemui di Ambon, Senin (20/10/2025).

Mon menjelaskan bahwa konflik bukan dipicu oleh penolakan terhadap pembangunan fasilitas pendidikan, tetapi oleh rasa frustrasi warga akibat tidak adanya kejelasan status administratif wilayah yang telah berlarut selama puluhan tahun.

“Kericuhan itu bukan karena kami menolak pembangunan sekolah Muhammadiyah, tetapi karena kami sudah terlalu jenuh dengan ketidakjelasan status wilayah ini. Kami hanya ingin ada keadilan dan kejelasan agar masyarakat bisa hidup damai,” ujar Mon menegaskan.

Penolakan warga terhadap penjemputan rombongan Muhammadiyah SBB di tambatan perahu menjadi titik awal memanasnya situasi. Warga pro-Malteng menyatakan fasilitas itu dibangun oleh Pemkab Maluku Tengah dan tidak dapat digunakan oleh pihak luar tanpa izin.

“Rombongan dari Dikdasmen PW Muhammadiyah Maluku dan DPD Muhammadiyah SBB dilarang singgah atau dijemput di jembatan Waeputih, karena jembatan itu dibangun oleh pemerintah Maluku Tengah. Dari situ mulai muncul cek-cok adu mulut antar warga,” ungkap Mon.

Sebagai respons atas penolakan itu, rombongan akhirnya memilih singgah di lokasi lain. Namun, insiden tersebut mempertegas betapa rentannya hubungan sosial di Waeputih akibat belum tuntasnya persoalan batas wilayah antara dua kabupaten.

Warga menilai, ketidaktegasan pemerintah daerah dan provinsi dalam menyelesaikan konflik batas wilayah hanya memperparah situasi di tingkat masyarakat. Mereka merasa seolah dibiarkan hidup dalam ketidakpastian administratif yang mengganggu keamanan dan keharmonisan sosial.

“Kami minta DPRD dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah tidak tutup mata. Jangan tunggu konflik meluas dulu baru bertindak. Kami butuh keputusan tegas, bukan wacana,” tambah Mon.

Polemik tapal batas Malteng-SBB ini sebelumnya telah berulang kali menjadi sorotan dalam rapat-rapat lintas kabupaten, namun belum menghasilkan keputusan final. Pemerintah Provinsi Maluku sebagai otoritas yang memiliki kewenangan penyelesaian tapal batas antar kabupaten pun didesak turun tangan lebih aktif.

Mon juga mengingatkan agar pembangunan di wilayah rawan sengketa harus mempertimbangkan aspek sosial-politik dan legalitas administratif agar tidak menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

“Pembangunan tidak bisa dipaksakan di tanah yang masih dipersengketakan. Harus ada kesepakatan dan kejelasan hukum. Kami ingin pembangunan, tapi juga ingin ketentraman,” tandasnya.

Masyarakat berharap dalam waktu dekat, pihak Pemkab Malteng, Pemkab SBB, DPRD, dan Pemerintah Provinsi Maluku duduk bersama untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah secara transparan dan berpihak pada kepentingan warga yang terdampak langsung.(MB-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.