
Ambon, Malukubarunews.com — PT Miranti Jaya Melati akhirnya mengakui kelalaiannya dalam mengambil material batu untuk pembangunan jalan di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) tanpa mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pengakuan itu disampaikan langsung oleh perwakilan perusahaan, Christian Wibisono, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPRD Provinsi Maluku, Dinas ESDM, dan Dinas PTSP, Jumat (31/10/2025) di ruang Komisi II DPRD Maluku, kawasan Karpan, Ambon.
“Kami akui belum memiliki izin usaha. Namun semua batu yang kami ambil bukan untuk dijual ke luar daerah, melainkan untuk pembangunan jalan di SBB,” terang Christian Wibisono di hadapan para legislator.
Christian menegaskan, perusahaan siap menerima konsekuensi hukum dan administratif atas aktivitas yang dilakukan sebelum perizinan terbit.
“Kami terima semua masukan dan ketegasan dari bapak-ibu dewan. Setelah ini kami akan segera mengurus izin dan siap memfasilitasi Komisi II DPRD Maluku untuk turun langsung melihat pekerjaan kami di lapangan,” ujarnya.
Ia juga menepis dugaan penjualan material ke pihak lain.
“Kami tegaskan, batu yang kami ambil murni untuk pembangunan jalan yang sangat dibutuhkan warga setempat,” tandas Christian.
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku, Abdul Haris, mengakui adanya kelemahan pengawasan di sektor pertambangan, terutama di wilayah kepulauan seperti SBB. “Kita mengalami kendala dalam pengawasan karena kewenangan belum diberikan sepenuhnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Minerba. Pengawasan masih dipegang oleh Inspektur Tambang,” jelas Abdul Haris.
Ia menambahkan bahwa keterbatasan anggaran menjadi faktor utama lemahnya pengawasan tersebut. “Kadang kita sudah anggarkan pengawasan di Maluku Tengah, tapi muncul aktivitas tambang di kabupaten lain seperti SBB. Anggaran tidak bisa dialihkan, sehingga memang kami lemah dalam aspek pengawasan,” katanya.
Pemerintah Provinsi Maluku, lanjut Haris, akan menghitung jumlah material yang telah dimanfaatkan PT Miranti Jaya Melati dan akan melibatkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk melakukan verifikasi lapangan. “Karena masih ilegal, tidak ada laporan produksi triwulanan dari perusahaan. Jadi kami belum memiliki data pasti berapa volume yang dimanfaatkan,” tambahnya.
Haris juga memaparkan sanksi hukum bagi perusahaan tambang yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 yang diperbarui dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 serta PP Nomor 96 Tahun 2021.
“Sanksinya meliputi teguran tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan izin, pemulihan lingkungan, hingga pidana maksimal lima tahun penjara atau denda Rp100 miliar,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku, Nita Bin Umar, mengapresiasi komitmen perusahaan untuk menuntaskan proses perizinan, namun menyoroti pentingnya koordinasi lintas instansi. “Kalau pembayaran langsung dipotong oleh Dispenda SBB, berarti perlu koordinasi antara PTSP dan ESDM agar pengawasan dan penarikan pajak berjalan baik. Ini juga harus diinformasikan ke Komisi III DPRD SBB supaya sinkron,” ucap Nita Bin Umar.
Senada, anggota Komisi II DPRD Maluku, Ari Sahertian, menyoroti lemahnya sistem pengingat masa berlaku izin usaha tambang.
“Sebulan sebelum izin berakhir, mestinya perusahaan sudah diberi pemberitahuan agar segera memperpanjang. Kalau tidak, hal seperti ini akan terus berulang,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, Komisi II DPRD Maluku menjadwalkan pertemuan lanjutan pada Senin (3/11/2025) yang akan melibatkan Dinas Lingkungan Hidup, PTSP, ESDM, serta pihak PT Miranti Jaya Melati untuk memastikan penyelesaian izin dan penegakan aturan di sektor pertambangan berjalan sesuai ketentuan.(MB-01)
