
Ambon, Malukubarunews.com — Ketimpangan pengelolaan potensi perikanan dan kelautan di Provinsi Maluku kembali mencuat ke permukaan setelah Alhidayat Wajo, anggota Komisi II DPRD Maluku dari Fraksi PDI Perjuangan, secara tegas mengkritik kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait Program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan alih muatan (transhipment) di wilayah perairan Laut Arafura.
Dalam forum penyampaian aspirasi daerah kepada pemerintah pusat, Wajo menilai bahwa kebijakan tersebut tidak memberi dampak ekonomi berarti bagi masyarakat Maluku, meskipun wilayah laut provinsi ini menjadi salah satu sentra perikanan terbesar di Indonesia.
“Kalau dilihat dari potret satelit di malam hari, jumlah kapal di Laut Arafura itu seperti Kota Jakarta. Begitu banyak kapal, tapi Maluku tidak dapat apa-apa,” kata Anggota Komisi II DPRD Maluku, Alhidayat Wajo.
Wajo menegaskan bahwa praktik transhipment atau alih muatan di tengah laut memungkinkan kapal industri besar membawa hasil tangkapan langsung ke luar daerah tanpa melakukan aktivitas bongkar muat di pelabuhan Maluku. Akibatnya, daerah kehilangan potensi pendapatan, sementara pelaku usaha lokal tidak mampu bersaing.
“Pengusaha Maluku masih sangat sedikit yang bisa bersaing. Kami minta transhipment dicabut, karena BBM Maluku tidak dapat bagian apa-apa,” ujarnya tegas.
Selain persoalan ekonomi, Wajo juga menyoroti dampak ekologis dari aktivitas kapal penangkap ikan yang beroperasi tanpa pengawasan ketat. Ia memperingatkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Laut Arafura berisiko mengalami kerusakan lingkungan parah akibat pembuangan limbah dan sampah plastik dari kapal-kapal industri.
“Kapal-kapal itu kami tidak tahu sampahnya dibuang di mana. Sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, laut Arafura bisa rusak semua karena sampah plastik,” katanya memperingatkan.
Menurutnya, pencabutan kebijakan transhipment akan memaksa kapal penangkap ikan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Maluku. Dengan begitu, pemerintah daerah dapat mengontrol aktivitas ekonomi, pengelolaan limbah, transaksi BBM, serta menarik retribusi daerah yang berdampak positif bagi perekonomian lokal.
“Ikannya diambil, sampahnya dikasih ke kami. Kalau kapal sandar di sini, kita bisa kontrol sampah, atur pembelian BBM dari Pertamina Maluku, dan UMKM bisa ikut bergerak,” jelasnya.
Lebih lanjut, Wajo menilai nilai ekonomi tinggi yang disebut-sebut dalam Program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) bukan hasil dukungan langsung dari pemerintah pusat, melainkan murni upaya keras pelaku usaha lokal yang bertahan di tengah ketimpangan kebijakan.
“Kalau nilainya tinggi, itu bukan bantuan pemerintah pusat. Kalau Non-Tariff Measures (NTM) naik, itu usaha mereka sendiri. Jadi tidak ada bantuan apa-apa,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat di Maluku justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar dari luar daerah, bukan oleh nelayan kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi pesisir.
“Pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat itu untuk pengusaha besar. Nelayan kecil tidak dapat apa-apa, apalagi hasil tangkapannya diambil dan dibawa keluar daerah,” katanya.
Meski demikian, Wajo menyatakan dukungan terhadap pembangunan Ambon New Port dan Maluku Integrated Port Project sebagai bagian dari visi besar menjadikan Maluku sebagai pusat logistik maritim Indonesia Timur. Namun ia menegaskan, proyek besar itu harus dibarengi dengan revisi kebijakan transhipment agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat Maluku.
“Kami mendukung pembangunan pelabuhan terpadu di Maluku, tapi semua itu tidak akan adil kalau transhipment masih dibiarkan. Kapal harus sandar di pelabuhan kita, supaya ekonomi lokal ikut tumbuh,” tegasnya.
Alhidayat Wajo menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa kondisi Laut Arafura kini dalam ancaman serius, berdasarkan laporan terbaru Bupati Kepulauan Aru dalam rapat koordinasi bersama Kementerian Hukum dan HAM bulan lalu.
“Kondisi laut Arafura sudah sangat buruk. Karena itu kami mendesak pemerintah pusat segera mencabut aturan terkait kebijakan PIT dan transhipment,” pungkasnya.
Sebagai informasi, kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 serta dijabarkan lebih lanjut dalam Permen KP No. 28 Tahun 2023 dan Permen KP No. 58 Tahun 2020, yang mengizinkan praktik alih muatan (transhipment) di zona-zona penangkapan ikan terukur. Namun bagi Maluku, kebijakan ini justru dinilai memperlebar ketimpangan ekonomi kelautan dan mempercepat degradasi ekosistem laut.(MB-01)
