
Buru, Malukubarunews.com – Desakan untuk menghentikan agenda penertiban di kawasan tambang emas Gunung Botak kembali menggema, kali ini datang dari tokoh adat yang membawa suara masyarakatnya secara tegas dan penuh amarah. Raja Negeri Kaiely, Abdulah Wael secara terbuka mendesak Gubernur Maluku untuk menunda seluruh proses penertiban di wilayah Gunung Botak hingga bulan Desember 2025.
Dalam pernyataannya pada Jumat (11/07/2025), Abdulah Wael tidak lagi menggunakan bahasa permohonan. Seruannya berubah menjadi desakan keras, membawa nuansa ultimatum, bahwa harga diri masyarakat adat telah diinjak-injak oleh kebijakan yang tidak berpihak.
“Penundaan ini krusial agar keadilan bagi masyarakat adat kami tidak dikesampingkan,” ungkap Raja Kalely Abdulah Wael, dengan nada tegas.
Ia menjelaskan bahwa penundaan hingga Desember bukan tanpa alasan. Di balik desakan tersebut terdapat dua pertimbangan utama: kemanusiaan dan pengakuan atas hak-hak adat. Menurutnya, momentum Natal dan Tahun Baru adalah waktu penting bagi masyarakat, khususnya penambang non-Muslim, untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“Ini bukan hanya soal tambang, ini soal ruang hidup, soal keadilan, dan soal bagaimana negara memperlakukan masyarakat adat dengan hormat,” tegas Abdulah.
Menurutnya, pendekatan represif melalui penertiban tidak akan menyelesaikan akar persoalan yang telah lama membelit Gunung Botak. Sebaliknya, itu hanya akan memperkeruh konflik dan memperdalam luka sosial yang sudah menganga di antara pemerintah dan warga adat.
“Selama ini masyarakat adat kami bersabar. Tapi kesabaran itu tidak berarti kami tunduk pada ketidakadilan,” tambahnya.
Seruan dari Raja Kaiely bukan hanya bersifat lokal, tetapi membawa dampak politis dan sosial yang lebih luas. Kawasan Gunung Botak bukan semata ladang emas, tetapi juga simbol perebutan kontrol antara negara dan masyarakat lokal atas sumber daya alam dan wilayah adat.
Pemerintah Provinsi Maluku hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi desakan tersebut. Namun tekanan politik dan sosial dari tokoh adat seperti Abdulah Wael diperkirakan akan memberi pengaruh signifikan terhadap keputusan ke depan.
Masyarakat Negeri Kaiely dan komunitas sekitarnya terus memantau situasi dengan cemas, khawatir penertiban justru akan memicu konflik horizontal dan tindakan kekerasan di lapangan. Para penambang tradisional sendiri, yang sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil tambang Gunung Botak, menyatakan dukungan penuh atas sikap sang raja.
Desakan ini menjadi sinyal penting bahwa pendekatan penyelesaian konflik di Gunung Botak harus kembali pada prinsip-prinsip dialog, keadilan sosial, dan pengakuan atas eksistensi masyarakat adat sebagai pilar sah dalam pengambilan keputusan atas tanah mereka sendiri.(MB-01)