Ambon, malukubarunews.com – Penanganan banjir yang kerap melanda kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) kembali menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku.
Ketua Komisi III DPRD Maluku, Jemi Pattiselanno, menilai lambannya pembebasan lahan menjadi kendala utama mandeknya proyek pengendalian banjir yang telah dirancang oleh Balai Wilayah Sungai Maluku.
Menurut Pattiselanno, masalah banjir di wilayah tersebut bukan persoalan baru, melainkan telah berlangsung cukup lama tanpa penyelesaian konkret.
“Soal kondisi banjir dalam kota, khususnya di daerah perkantoran Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur ini memang sudah terjadi cukup lama,” kata Ketua Komisi III DPRD Maluku, Jemi Pattiselanno.
Ia mengungkapkan bahwa Balai Wilayah Sungai Maluku sejatinya telah menyusun desain dan perencanaan teknis pembangunan infrastruktur pengendalian banjir. Namun, eksekusi di lapangan masih terhambat oleh belum tuntasnya pembebasan lahan oleh Pemerintah Kabupaten SBT.
“Sebenarnya Balai Sungai sudah siap untuk pembangunan pengendalian banjir, hanya saja terkendala status lahan. Pemerintah kabupaten harus menyelesaikan pembebasan lahan terlebih dahulu, karena di sana sudah ada pemilik-pemilik tanah,” ujar Pattiselanno.
Pemerintah daerah dinilai belum mengambil langkah tegas untuk memastikan tersedianya lahan yang memadai. Padahal, anggaran dan energi yang dialokasikan untuk proyek tersebut sudah sangat besar, dan seharusnya tidak terhambur sia-sia.
“Semua anggaran difokuskan ke tangan dan energi. Kalau pembebasan lahan ini berlarut, maka proyek bisa molor, biaya akan membengkak, dan masyarakat tetap menderita akibat banjir,” jelasnya.
Jemi menegaskan bahwa proyek pengendalian banjir semestinya rampung dalam waktu dua tahun, sebagaimana target awal yang telah disepakati antara DPRD, Balai Sungai, dan pihak kementerian terkait.
“Kita pastikan, dua tahun seharusnya sudah selesai. Tapi sekarang masih terganjal soal lahan. Kalau ini tidak diselesaikan, maka proyek bisa mangkrak, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaatnya,” tegas Pattiselanno.
Ia juga menyinggung keberadaan regulasi adaptif, seperti Permen PUPR Nomor 70 Tahun 2020, yang memungkinkan percepatan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur tanpa menunggu peraturan daerah tambahan.
“Sebenarnya tidak perlu lagi Perda baru. Kita sudah punya aturan nasional soal pekerjaan konstruksi yang bisa digunakan sebagai dasar. Yang penting ada koordinasi kuat antara pemerintah daerah dan pusat,” katanya.
Komisi III mendesak Pemkab SBT untuk segera menyelesaikan negosiasi dengan masyarakat pemilik lahan agar proyek bisa berjalan sesuai jadwal. Ia mengingatkan bahwa pembangunan infrastruktur semestinya menjamin kepentingan publik dan tidak boleh dikorbankan oleh kelalaian administratif.
“Tujuannya satu: supaya masyarakat bisa segera merasakan manfaat pembangunan. Kalau pembangunan molor, masyarakat dirugikan dan anggaran negara juga terbuang sia-sia,” ungkap Pattiselanno.
Lebih lanjut, ia meminta Balai Wilayah Sungai Maluku tetap siaga dan siap mengeksekusi pembangunan begitu lahan sudah dibebaskan. Pemerintah kabupaten juga diharapkan tidak menunda lagi proses yang seharusnya menjadi prioritas.
“Balai Sungai sudah punya perencanaan matang. Jadi tinggal tunggu kesiapan lahan dari pemerintah kabupaten. Kalau ini bisa disinkronkan, proyek pasti jalan,” tandasnya.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur tak hanya soal dana dan desain teknis, tetapi juga soal komitmen dan keberanian politik untuk menyelesaikan hambatan di akar persoalan. Masyarakat Seram Timur kini menanti bukti nyata, bukan sekadar janji pembangunan.(MB-01)
–