Ambon, Malukubarunews.com – Anggota Komisi II DPRD Maluku dapil Kota Ambon , Ari Sahertian, angkat bicara keras dalam rapat bersama masyarakat adat Negeri Air Louw dan dinas terkait, terkait penerbitan SK Menteri LHK No. 1150 2024 tentang penetapan kawasan hutan lindung yang kini berujung polemik. Ia menekankan bahwa meskipun negara memiliki kewenangan, kebijakan apapun harus tetap berkeadilan dan menghormati masyarakat adat.
“Memang betul negara ini punya kewenangan melalui Kementerian LHK. Tapi tidak serta-merta semua kebijakan bisa dilaksanakan semaunya. Kita bicara keadilan. Jangan sampai masyarakat adat jadi korban atas nama program strategis nasional,” tegas Ari saat dengar pendapat di ruang Komisi I bersama masyarakat Air Louw
Menurut Sahertian, tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang menyatakan bahwa pembangunan proyek strategis nasional bisa dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang sudah lama mendiami dan mengelola wilayah tersebut.
Dalam pernyataannya, Sahertian mengutip Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi dia, frasa “kemakmuran rakyat” harus diterjemahkan secara utuh, tidak hanya untuk kepentingan pusat, tetapi juga untuk perlindungan masyarakat adat di daerah.
“Apa gunanya kita bicara undang-undang kalau tidak melindungi rakyat? Jangan jadikan masyarakat sebagai objek semata. Kita perlu kebijakan yang menyatukan, bukan memecah belah,” lanjutnya.
Ari menambahkan, jika keputusan seperti ini terus diambil tanpa dialog yang transparan, maka bisa memicu konflik sosial. “Saya tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang melukai rakyat sendiri, itu tidak layak diteruskan,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut, Ari juga mempertanyakan legalitas dan proses pengukuran lahan seluas 8,42 hektar yang disebut masuk dalam kawasan hutan negara dan akan digunakan untuk proyek Kementerian Pertahanan.
“Kenapa baru muncul di tahun 2024? Sejak kapan tanah itu diambil alih? Selama ini masyarakat hidup, berkebun, bahkan mengambil air dari kawasan itu. Apa tidak dianggap?” tukasnya.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap sepi suara masyarakat adat yang selama ini menjaga kawasan hutan. Baginya, pengakuan terhadap hak adat sudah tertuang dalam berbagai regulasi seperti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan sejumlah Perda Kota Ambon.
Menutup pernyataannya, Sahertian memberi peringatan tegas bahwa jangan ulang kesalahan di daerah lain . kesalahan seperti ini bisa memicu masalah yang lebih besar. Ia mencontohkan konflik sosial yang terjadi di daerah lain akibat pengabaian terhadap hak masyarakat adat atas tanah mereka.
“Maluku ini tanah beradab. Negeri adat adalah sistem hukum yang harus dihormati. Negara tidak boleh memperlakukan masyarakat seperti tidak ada,” terangnya
Komisi II DPRD Maluku disebutnya akan mengkaji lebih dalam SK tersebut dan mendesak KLHK mempertimbangkan ulang keputusan yang dinilai cacat secara sosial dan moral, meski mungkin sah secara administratif. (MB-01 )