Jakarta Malukubarunews.com — Panitia Kerja (Panja) Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas dugaan pemerasan, politisasi, dan kriminalisasi terhadap Petrus Fatlolon oleh Kejaksaan Negeri Kepulauan Tanimbar di Jakarta . Rapat ini menempatkan isu integritas penegakan hukum sebagai fokus utama, menyusul munculnya rekaman dan laporan dugaan pertemuan jaksa dengan pihak berperkara di luar mekanisme resmi.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, menegaskan bahwa persoalan tersebut tidak bisa dipandang ringan karena menyangkut marwah institusi kejaksaan. Ia mempertanyakan praktik pertemuan jaksa dengan saksi atau pihak berperkara di hotel saat proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi masih berjalan.
“Saya kalau melihat laporan bapak ini singkat sekali. Kepala kejaksaan negeri Tanimbar mengaku tidak menerima suap, tetapi bukankah di dalam institusi kejaksaan ada kode etik yang melarang bertemu dengan pihak berperkara,” tegas Anggota Komisi III DPR RI Tandra.
Menurut Sordarsono, pembuktian niat memang berada di ranah batin, namun indikasi kepentingan dapat ditelusuri dari rangkaian pertemuan yang berulang. Ia menyinggung adanya rekaman yang menyebutkan ajakan bertemu di hotel dalam konteks pemeriksaan perkara tipikor, yang dinilai tidak lazim dan berpotensi melanggar etik.
“Rekaman itu bunyinya jelas, nanti bapak ketemu di hotel. Periksa perkara tipikor kok tempatnya di hotel. Ini bukan soal benci oknum, tapi menjaga marwah institusi kejaksaan,” ungkap Anggota Komisi III DPR RI Tandra.
Ia juga menegaskan tidak memiliki kepentingan politik dalam kasus ini meski mengenal Petrus Fatlolon secara personal sebagai sesama putra daerah Tanimbar. Tandra menilai satu tindakan oknum dapat mencoreng seluruh institusi, sehingga penanganan tegas dan transparan menjadi keharusan.
“Saya kenal Petrus Fatlolon, tapi kami beda partai dan tidak ada kepentingan apa pun. Kepentingan saya hanya satu, jaga marwah institusi kejaksaan. Kalau fakta bicara bertemu berkali-kali, ini tidak bisa ditoleransi,” terang Anggota Komisi III DPR RI Tandra.

Dari sisi pengawasan internal, Inspektur pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Janwas) Kejaksaan RI, Rudi Murgono, memaparkan kronologi penanganan laporan dugaan pemerasan yang menyeret Kepala Kejaksaan Negeri Tanimbar. Kasus bermula dari penyelidikan dugaan korupsi dana tahun 2020 yang berlanjut hingga penetapan mantan Bupati Kepulauan Tanimbar sebagai tersangka pada 19 Juni 2024.
“Dalam proses penyidikan itu, sebelum penetapan tersangka, terjadi pertemuan antara Kajari Tanimbar dengan saksi, mulai dari di mobil hingga di hotel,” ungkap Inspektur Janwas Kejaksaan RI, Rudi Murgono.
Rudi menjelaskan, laporan dugaan pemerasan senilai Rp10 miliar diajukan pada akhir 2024 dan telah ditindaklanjuti dengan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk Petrus Fatlolon, Joice Martina Pentury, serta beberapa jaksa terkait. Hasil analisis awal Janwas menyimpulkan tidak ditemukan bukti pemerasan, namun evaluasi lanjutan menunjukkan adanya fakta yang belum dipertimbangkan secara utuh.
“Pada analisis sebelumnya, rekaman yang beredar belum menjadi pertimbangan menyeluruh. Dari perkembangan terakhir, terdapat potensi indikasi kepentingan dari pertemuan-pertemuan tersebut,” jelas Inspektur Janwas Kejaksaan RI, Rudi Murgono.
Atas dasar itu, Janwas Kejaksaan RI memutuskan membuka kembali pemeriksaan dengan menerbitkan surat perintah lanjutan. Langkah ini diambil untuk memastikan seluruh fakta diuji secara objektif dan akuntabel, sekaligus menjawab sorotan publik dan DPR terhadap penegakan etik aparat penegak hukum.

RDP dan RDPU Komisi III DPR RI ini menegaskan komitmen parlemen dalam mengawal reformasi penegakan hukum. Kasus Petrus Fatlolon dinilai menjadi ujian serius bagi kejaksaan dalam menegakkan hukum secara adil, profesional, dan bebas dari praktik yang mencederai kepercayaan publik.(MB-01)
