Ambon, Malukubarunews.com — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon kembali menunjukkan komitmen dalam penerapan pendekatan keadilan yang lebih humanis melalui Restoratif Justice, dengan menghentikan penuntutan terhadap dua perkara narkotika yang melibatkan tersangka pengguna. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi sosial, latar belakang tersangka, serta rekomendasi asesmen terpadu.
Kedua tersangka yakni “DMP” alias Dicky, seorang Pegawai Negeri Sipil, dan “FL” alias Edi, petugas keamanan di salah satu rumah sakit di Kota Ambon, dinyatakan layak direhabilitasi dan tidak dilanjutkan ke proses persidangan.
“Selain menjadi korban penyalahgunaan narkotika, para tersangka juga merupakan tulang punggung keluarga. Oleh karena itu, kami mengajukan permohonan penghentian penuntutan dalam perkara ini, agar para tersangka dapat segera direhabilitasi,” kata Wakil Kepala Kejati Maluku, Abdullah Noer Deny.
Pengajuan penghentian penuntutan dilakukan pada Senin, 7 Oktober 2025, melalui video conference Kejati Maluku dan Kejari Ambon bersama Tim Restoratif Justice pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, yang dipimpin oleh Direktur B, I Ngurah Sriada.
Dalam paparannya, Kasi Pidum Kejari Ambon Hubertus Tanate menjelaskan bahwa tersangka Dicky ditangkap usai membeli satu paket kecil narkotika jenis sabu seharga Rp300.000 dari seorang pengedar berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) di wilayah Leihitu, Maluku Tengah.
“Tersangka Dicky membeli narkotika jenis sabu dari Sdr. Doni untuk digunakan sendiri. Berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka merupakan penyalahguna dengan tingkat ketergantungan rendah dan tidak terlibat dalam jaringan peredaran,” ungkap Hubertus Tanate.
Sementara itu, tersangka kedua, Edi, diketahui telah mengkonsumsi narkotika jenis sabu sejak 2022. Ia mengakui telah dua kali membeli sabu dari seorang pengedar bernama Ade Gele (DPO), yang beroperasi di kawasan yang sama.
“Tersangka Edi membeli sabu untuk keperluan berjaga malam. Hasil asesmen menunjukkan bahwa ia termasuk kategori pecandu tingkat sedang,” pungkas Kasi Pidum Kejari Ambon.
Berdasarkan hasil asesmen dan kajian hukum, Tim Restoratif Justice menyimpulkan bahwa kedua tersangka memenuhi kriteria Pasal 5 ayat (1) tentang penghentian penuntutan, di mana perbuatan dilakukan pertama kali, ancaman hukuman di bawah 5 tahun, dan tidak menimbulkan kerugian lebih dari Rp2.500.000.
“Kami mengusulkan kepada pimpinan untuk melakukan rehabilitasi medis dan sosial kepada para tersangka selama empat bulan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku dan kerja sosial satu bulan di Balai Latihan Kerja Kota Ambon,” kata Hubertus menutup paparannya.
Langkah penghentian penuntutan ini disetujui oleh Tim Restoratif Justice Kejaksaan Agung setelah mempertimbangkan seluruh aspek hukum dan sosial. Keputusan ini dinilai sebagai bentuk penegakan hukum yang tidak hanya berorientasi pada pemidanaan, tetapi juga pemulihan.
“Restoratif Justice bukan berarti lunak terhadap kejahatan, melainkan memastikan bahwa penyelesaian perkara tetap berpihak pada keadilan substantif dan kemanusiaan,” tegas Abdullah Noer Deny.
Dengan keputusan ini, Kejati Maluku menegaskan kembali posisinya dalam mendorong pendekatan hukum yang lebih progresif dan humanis, terutama terhadap korban penyalahgunaan narkotika yang masih bisa diselamatkan melalui jalur rehabilitasi, bukan penjara (MB-01)