SBB – MalukuBaruNews.com — Insiden viral terkait kaburnya pimpinan PT SIM dari ruang rapat bersama DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari tokoh masyarakat, Gerard Wakano, yang menilai peristiwa tersebut sebagai gejala krisis tata kelola pemerintahan, bukan sekadar konflik antara legislatif dan investor.
Peristiwa terjadi pada awal pekan ini saat pimpinan PT SIM diundang hadir dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD SBB. Alih-alih menghasilkan solusi konstruktif, rapat justru berakhir ricuh, hingga pimpinan perusahaan memilih meninggalkan ruang sidang. Video berdurasi delapan menit yang beredar luas di media sosial memperlihatkan ketegangan verbal antara anggota dewan dan pihak perusahaan.
“Video 8 menit yang beredar itu telah menjadi pisau bedah yang membedah lebih dalam daripada headline yang menyudutkan. Alih-alih menunjukkan pelarian seorang investor, rekaman itu justru mengungkap pelarian akal sehat dari ruang yang seharusnya menjadi tempat lahirnya solusi,” kata tokoh masyarakat, Gerard Wakano.
Menurut Wakano, yang terjadi dalam ruang rapat bukanlah diskusi produktif, melainkan konfrontasi emosional yang menjauh dari semangat kemitraan antara pemerintah dan pelaku usaha.
“Logika dikalahkan oleh emosi, dan etika bernegara tergerus oleh ego sektoral,” tegas Wakano.
Rapat tersebut, lanjutnya, seharusnya menjadi ruang mediasi untuk mencari titik temu dalam pengembangan investasi dan kepentingan masyarakat. Namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan pendekatan yang menyinggung pihak perusahaan hingga membuat mereka merasa tidak aman untuk melanjutkan dialog.
“Rapat seharusnya menjadi ruang mediasi, bukan interogasi,” tegas Wakano.
Ia juga menyoroti pernyataan dari salah satu anggota DPRD yang menyebut bahwa mereka tidak mempermasalahkan jika PT SIM keluar dari daerah. Baginya, itu bukan hanya pernyataan emosional, tetapi juga blunder strategis yang dapat merusak reputasi daerah di mata calon investor.
“Dalam dunia yang terhubung, pernyataan seperti itu adalah sinyal bahaya bagi semua kalangan investor, dari London hingga Singapura. Ini menunjukkan ketiadaan visi kolektif tentang arti penting investasi yang berkelanjutan,” jelas Wakano.
Secara lebih luas, Wakano menilai bahwa masyarakat SBB lah yang akan paling dirugikan jika iklim investasi tidak diperbaiki. Kehilangan prospek kerja, stagnasi ekonomi, dan reputasi daerah yang tercoreng akan menjadi konsekuensi jangka panjang.
“Mundurnya seorang investor bukan hanya tentang hilangnya nilai investasi hari ini. Ini adalah krisis reputasi yang akan memicu dampak sistemik,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa dunia usaha memiliki memori panjang. Peristiwa seperti ini akan terekam dalam berbagai laporan risiko politik yang dibaca calon investor global sebelum masuk ke suatu wilayah.
“Due diligence calon investor berikutnya akan dengan mudah menemukan kasus ini, dan mereka akan menarik kesimpulan yang tak terucapkan: kontrak di SBB tidak memiliki kepastian hukum,” ungkap Wakano.
Dalam analoginya, Wakano menyebut bahwa daerah yang gagal menjaga reputasi hanya akan menarik investor jangka pendek dengan standar etika rendah.
“Daerah dengan reputasi buruk hanya akan menarik investasi kelas kambing, investor jangka pendek dengan standar etika longgar. Sementara itu, investasi kelas rusa, yang membawa transfer teknologi dan berkomitmen pada ESG, akan menjauhi SBB. Ini awal dari siklus keterpurukan ekonomi,” ujarnya.
Meski mengkritik keras, Gerard Wakano tetap menawarkan solusi. Menurutnya, kasus PT SIM harus dijadikan sebagai momentum introspeksi kolektif bagi DPRD dan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki cara mereka berinteraksi dengan mitra pembangunan.
“Momentum kelam ini harus menjadi titik balik untuk membangun tata kelola yang lebih beradab. Kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten SBB, sebagai anggota masyarakat, kami menyerukan pendidikan ulang tentang diplomasi ekonomi,” katanya.
Wakano menutup pernyataannya dengan nada tegas namun membangun: “Pilihannya sekarang hanya dua, terus membiarkan SBB terperosok dalam isolasi ekonomi, atau bangkit dengan memperbaiki diri. Waktunya telah habis untuk berpangku tangan. Saatnya bertindak dengan bijak, elegan, dan penuh tanggung jawab sejarah.”(MB-02)
