Jakarta,MalukuBaruNews.com – Wali Kota Ambon, Bodewin M. Wattimena, menjadi salah satu dari tiga peserta terpilih yang mempresentasikan Rencana Aksi (Renaksi) 2026 pada Kursus Pemantapan Pimpinan Daerah (KPPD). Presentasi tersebut disampaikan di hadapan Wakil Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Lemhanas pada Selasa, 18 November 2025, di BPSDM Kementerian Dalam Negeri.
Dalam paparannya berjudul “Pembangunan Material Recovery Facility (MRF) dan Pengelolaan Sampah Terpadu dengan Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) dalam Rangka Mewujudkan Ambon yang Ramah Lingkungan”, Wattimena menegaskan bahwa persoalan sampah di Kota Ambon telah berada pada titik kritis akibat kombinasi berbagai faktor struktural dan sosial.
“.sampah menjadi masalah serius karena pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pola konsumtif masyarakat, serta keterbatasan infrastruktur dan topografi yang menantang.”ungkap Wali Kota Ambon, Bodewin M Wattimena.
Menurutnya, kondisi tersebut diperparah oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, persoalan sampah perbatasan antara Ambon–Maluku Tengah, dan tingginya volume sampah laut yang semakin mencemari ekosistem.
“Kota Ambon menghasilkan sekitar 256,41 ton sampah per hari, namun hanya 180,5 ton yang dapat diangkut ke TPA, dan 22,60 ton yang masuk ke fasilitas pengurangan. Sisanya, sekitar 53,35 ton setiap hari, terbuang ke lingkungan.”terang Wattimena.
Dengan kondisi tersebut, Kota Ambon ditetapkan sebagai Daerah Dengan Kedaruratan Sampah sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2567 Tahun 2025. Pemerintah pusat juga telah mewajibkan penghentian sistem open dumping di TPA Toisapu melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025, yang mengatur penanganan sampah perkotaan berbasis energi terbarukan ramah lingkungan.
Wattimena menegaskan bahwa kebijakan pengelolaan sampah secara menyeluruh telah diintegrasikan ke dalam RPJMD Kota Ambon 2025–2029 untuk mencapai visi pembangunan “Ambon Manise yang Inklusif, Toleran, dan Berkelanjutan.” Program ini difokuskan pada peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, termasuk sistem drainase, pengendalian pencemaran, dan edukasi publik.
“MRF akan menjadi fasilitas terpadu yang meliputi pemilahan, pengomposan, dan daur ulang, sedangkan RDF berfungsi mengubah residu sampah menjadi energi alternatif” jelasnya.
Ia menerangkan bahwa kedua teknologi tersebut akan mengurangi tekanan terhadap TPA, memproduksi energi alternatif yang dapat menggantikan batu bara, sekaligus menekan emisi gas rumah kaca. Selain itu, integrasi MRF dan RDF dinilai mampu membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui lingkungan yang lebih bersih.
“Secara sosial, manfaatnya adalah peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan sampah yang lebih baik.”ujar Wali Kota.
Wattimena menambahkan, proyek pembangunan MRF dengan teknologi RDF pada tahun 2026 membutuhkan anggaran Rp11 miliar, dengan biaya operasional dan pemeliharaan mencapai Rp750 juta per tahun. Menurutnya, investasi tersebut merupakan langkah strategis untuk mencapai target pengelolaan sampah nasional dan visi kota yang ramah lingkungan.
“Diharapkan pembangunan ini mampu mewujudkan Ambon Ramah Lingkungan dengan pencapaian target pengurangan sampah 70 persen, penanganan 30 persen, sampah terkelola 100 persen, dan nol sampah tidak terkelola.” tandasnya.(MB-01)
